Source

Burung-burung berkicau dengan merdunya, menyanyikan lagu indah, entah mengapa burung itu seakan bernyanyi layaknya manusia. Matahari pagi mulai menghangatkan kota ini, dan Citra terduduk lelah di bangku taman. Semua tak terlihat berbeda, fikirnya. Melakukan rutinitas yang jarang dilakukannya, menyibukan diri dengan hal baru untuk menghapus hal yang lama, Sejak pindah dikota yang sangat jauh dari tempat tinggal sebelumnya, semua seakan tak merubah apapun yang ada di hatinya.

Di hati nya masih ada nama lelaki itu, sejauh apapun jarak yang memisahkan dia dengan lelaki itu, tetap saja tak dapat membuatnya melupakan sosok yang pernah mengisi hari-hari nya. Walau cinta itu hanya bersemi dihati dirinya sendiri, tidak dengan lelaki itu.


Seharusnya Citra dapat dengan mudah melupakan Tara, yang tak pernah tau perasaan Citra kepadanya, tak ada hal spesial yang pernah dilakukan Tara untuk membuat Citra tak bisa melupakannya, setidaknya yang sengaja Tara lakukan. Namun, Citra sangat menyukai Tara, tak pernah ia sedikitpun berfikir memohon balasan cinta dari Tara. Cinta nya tulus tanpa pamrih, walau kadang mengiris hati, menguras tangis karena memendam perasaan.

Citra berjalan kembali kerumahnya setelah berolahraga di taman dekat rumahnya, sesekali ia mengelap keringat yang ada di wajahnya. Kemudian seketika Pandangannya tertuju pada penjual ice cream yang sedang dikerumuni oleh anak kecil, Dia tersenyum geli seakan mengingat sesuatu kejadian yang lucu. Ice cream, memanggil ingatannya akan salah satu yang membuatnya jatuh cinta pada sosok Tara.

Saat itu Citra sedang duduk termenung akan suatu hal, Tara datang membawa ice cream meghampirinya. “Jangan bengong terus, makan ini dijamin mood kamu akan lebih baik” Tara memberikan ice cream itu pada Citra, Citra melirik ice cream itu kemudian mengambilnya dengan tersenyum, “Terimakasih, aku hanya tak habis fikir, bisa-bisanya dia memamerkan kemesraannya dengan pacar baru nya” Citra bicara sambil membuka bungkus ice Cream itu.

Tara tersenyum, “Kamu yang salah, dia itu kan mantan pacarmu, dia bukan siapa-siapa lagi, lantas mengapa kamu membuat termenung dirimu sendiri, itu sudah urusannya sendiri dengan pacar barunya, bukan urusanmu”.

Citra tambah memasang wajah dengan beribu awan mendung diatas kepalanya, “Aku hanya kesal mengapa dia dengan begitu cepatnya mendapatkan yang baru. Kamu juga bikin mood aku makin buruk, lama sekali beli ice creamnya”.

“Sudah cepat habiskan ice cream-mu, nanti keburu meleleh”.

Citra hanya diam menuruti apa yang dikatan Tara, lelaki itu memang selalu tahu apa yang dibutuhkannya. sebagai teman, Tara yang terbaik. Dari saat itu Citra tahu yang dibutuhkannya hanyalah ice cream yang diberikan Tara.

“Setiap hari aku akan membelikanmu ice cream, asal kamu janji tak akan memasang wajah mendung seperti tadi ya”, Citra menoleh kaget kepada Tara, “Benarkah? Itu masalah mudah, tapi jangan sampai kamu melewatkan sehari tanpa membelikan aku ice cream” Citra tertawa mengejek Tara. Tara tersenyum kemudian mengacak rambut Citra, “Aduhh.. berantakan tau!”.

Citra hanya mematung menatapi pemandangan anak kecil yang sedang berburu ice cream. saat sudah sedikit sepi, ia berjalan berniat membeli Ice cream. “Pak ice cream vanilla nya satu” pedagang ice cream langsung menyajikan kemudian memberikan ice cream itu ke citra sambil tersenyum ramah.

***

Dengan langkah cepat citra berjalan menuju halte didepan kompleks rumahnya, seraya menepati janji temannya, Laras. Sambil berjalan ia mengeluarkan  ponsel miliknya kemudian mengetik nama Laras dan menekan tombol hijau. Tidak ada jawaban, Laras mungkin sedang dijalan.

Terik makin menjadi dan Citra duduk dibangku halte yang sepertinya mungkin jarang sekali ada yang menunggu kendaraan disini. Bukan karena halte ini terlihat kotor, justru karena halte ini-setidaknya menurut Citra terlihat masih bersih karena jarang ditempati.

Disana ada seorang lelaki duduk dengan kedua tangan memegang Koran yang sedang dibacanya menutupi setengah bagian wajahnya. Koran itu Koran dua minggu lalu, lalu kenapa masih dibacanya? Tidak penting hal itu. Citra kembali mengeluarkan ponsel nya, gambar-perempuan cantik dengan bentuk wajah sedikit bundar dengan mata bulat besar tersenyum- muncul, ya itu adalah potret dirinya satu tahun lalu, tepat saat terakhir kali ia mengambil gambar akan dirinya. Sekarang tak pernah bisa tersenyum sesenang dulu .

Lelaki dengan Koran tersebut seperti tersentak, ia melipat korannya. Lelaki itu mempunyai kumis yang agak aneh, ia menggunakan jaket kulit dengan topi di kepalanya dan juga kacamata hitam menutupi matanya, apa? Kacamata hitam untuk membaca Koran?.

Laki-laki itu berdiri kemudian berjalan kearah Citra, Citra berpura-pura tidak melihat hal itu, ia menatap lurus kearah ponselnya berusaha mencari nama laras untuk ditelepon.

“Permisi mbak?” ucap lelaki itu, Citra tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena kacamata hitam itu lumayan besar. “Boleh saya duduk disini?” katanya sekali lagi, suaranya berat seperti yang dilihat Citra didalam sinetron sebagai penjahat. Citra hanya mengangguk, batinnya dipenuhi pertanyaan apakah harus tetap disini atau lari kembali kerumah.

“Cuacanya panas, bukan?” lelaki dengan Koran tadi memulai pembicaraan, Citra memberanikan diri untuk melihat kearah laki-laki itu, “Ah, iya panas” kemudian ia tersenyum.

“Mbak nya sedang menunggu bus?”.

“Tidak, saya menunggu teman”  beberapa detik suasana mulai hening.

“Mbak tunggu sebentar ya disini jangan kemana-mana” lelaki itu kemudian pergi menyebrang jalan dan tidak terlihat oleh mata, ia meninggalkan Koran disampingnya.

Citra menghubungi Laras sekali lagi namun tetap tidak ada jawaban. Beberapa menit kemudian laki-laki itu kembali dengan kantong plastik di tangannya, Citra tidak tahu apa itu dan dia tidak terlalu memikirkannya.

Laki-laki itu tersenyum dan mengeluarkan isi dari kantong plastik yang dibawanya, kemudian ketakutan Citra semakin bertambah, mungkinkah itu pistol untuk menembaknya? Saat itu dia tidak bisa berfikir jernih.

Ice cream.

Isi dari kantong plastik itu ice cream, Citra sangat menginginkannya saat melihatnya, kemudian beberapa detik keinginannya itu berubah menjadi kecurigaan. Mungkin saja laki-laki itu menaruh obat tidur didalam ice cream itu, mungkin saja setelah aku memakannya, aku akan diculik dan dibawa ke luar negeri untuk dijual. Tidak. Tidak. Tidak.

“Ambil ini” laki-laki itu memberi Citra ice cream cup dengan ukuran sedang, Citra menerimanya tapi berjanji tak akan memakannya,Citra tidak bisa ditipu.



“Kenapa tidak dimakan? Aku tahu kamu suka ice cream” laki-laki itu kembali duduk disamping Citra, entah bagaimana, tapi suara nya berubah menjadi tidak berat.



Citra menoleh kearah laki-laki itu “Kamu siapa?”



“Aku penjual ice cream”.

Penjual ice cream? Mungkinkah penjual ice cream yang tadi pagi aku beli setelah olahraga? Tidak. Aku yakin penjual tadi itu sudah tua dan laki-laki diampingku ini kelihatannya tidak jauh usianya denganku. Saat itu Citra tidak mengatakan apapun, fikirannya dipenuhi pertanyaan, entah siapa laki-laki itu, apa dia mau memakan ice cream itu, mengapa laras tidak kunjung tiba, dan apakah laki-laki itu jahat atau tidak.

Seketika yang terlihat adalah laki-laki itu melepaskan topinya, memperlihatkan rambutnya yang hitam kecoklatan, Citra masih dengan menatap ponselnya, karena tahu Citra tidak memperhatikannya, laki-laki itu kemudian berdiri di depan Citra, Citra sontak langsung melihat kearah laki-laki itu.

Sekarang ia mulai melepaskan kaca mata, mata hitam indah miliknya seakan berbicara sesuatu, kemudian entah bagaimana laki-laki itu dapat menghapus kumis anehnya. laki-laki itu tersenyum seakan mengisyaratkan sesuatu, senyuman itu memiliki banyak arti.

Citra duduk terdiam melihat apa yang ada didepannya, yang terjadi serasa begitu cepat. Diakuinya. seluruh tubuh nya seakan sebeku es untuk beberapa detik, kemudian waktu seperti sedang berhenti, seperti ada sesuatu yang memukul jantungnya dengan keras, suara keras itu sampai bisa didengarnya, matanya menatap tak berkedip seakan ia bukan manusia, bibirnya seperti terkunci rapat, teriknya matahari seakan tak terasa, sesaat citra malah merasakan salju turun tepat di atas tempatnya sekarang. Tak percaya dengan apa yang ia lihat didepannya.

Tara.

This is rhythm of the memories between us
Whenever I hear it, it reminds me of our good old days
No matter how long time has passed
But our song is still deep in my heart
Since we’ve been apart, how are you today? I want to know
Clocks are never lazy to run, time makes everything changed
But all that good memories are still kept in my mind
I have only you that have never changed

“Hai” tiga huruf darinya yang dapat mengubah hari Citra.



“Ta…tara?” entah mengapa Citra seperti susah sekali untuk bicara.



“Ya, aku Tara, bagaimana? Apa kau terkejut?”.



Tentu saja sangat terkejut, “Iya, aku terkejut, mengapa kau bisa di jogja?”.



“Habiskan ice cream-mu itu dulu, hampir meleleh”.



Tara kembali duduk disamping Citra, mereka sedang menikmati ice cream vanilla-rasa rindu yang tak ingin dihabiskan.
“Bagaimana kabarmu?”.



Hari ini kabarku baik, hari-hari sebelum sekarang tidak pernah dapat disebut baik, tanpa kamu. “Baik, seingatku tidak pernah sebaik ini, bagaimana denganmu?” hanya itu yang dapat dikatakannya.



Sama. aku merindukanmu, Aku datang untuk mengilangkan rasa rindu itu dan memberikanmu ini” Tara mengeluarkan apa yang ada didalam kantong jaketnya.

Source


Kertas tebal dengan bentuk persegi panjang berwarna biru, warna kesukaan Tara, bisa terlihat dari ukiran dan bentuknya itu sesuatu yang berharga. Citra menerimanya kemudian dia melihat, ada nama Tara dan Bella, dan dibawahnya tertulis ‘undangan pertunangan’.

Ice cream vanilla yang manis itu seketika terasa pahit, tekstur lembut ice cream itu menjadi terasa kasar dan tak dapat ditelan, mengganggu tenggorokan citra, hingga tak dapat berkata-kata.Citra merasa seperti ditampar dengan kenyataan, bermimpi apa dia mengharapkan Tara dengan Bella sudah tidak berhubungan lagi dengan kedatangan Tara menemuinya, tidak sadarkah dia selama ini memang Bella yang menjadi satu-satunya wanita dihati Tara, bukan dia.

Citra tersenyum, “Wah, cepat sekali, kalian sudah akan bertunangan saja” dia mengatakan itu sambil memasang senyum, berusaha melawan rasa panas dimatanya.



“Terlalu cepatkah? Kami memang menginginkan hal itu. Aku sangat mencintainya, rasanya bahagia sekali, kau tahu kan” Citra tak pernah melihat senyum sebahagia itu, senyuman itu hanya karena Bella. Ya, Bella.



“Selamat ya, aku ikut bahagia” Citra memeluk Tara, berusaha agar air matanya tidak jatuh, namun dia salah, pelukan itu malah menambahkannya akan rasa mati dihatinya.



“Apa kau menangis?” Tara melepaskan pelukan Citra, “hei jangan menangis” Tara mengelap air mata yang turun ke pipi Citra.



“Aku hanya merasa bahagia, kau tahu ini air mata bahagia” Citra mengelap air mata yang tersisa dan sekali lagi memasang senyum palsunya.

“Habis itu ajak aku kerumahmu ya, sudah lama tidak bertemu om dan tante, aku juga ingin cerita banyak padamu” Tara terlihat bersemangat, ia kemudian melanjutkan memakan ice cream nya.



Citra hanya mengangguk.



 “Aku akan senang sekali jika sahabatku datang ke pertunanganku” sekali lagi Tara bicara, dan Citra hanya mengangguk, kemudian ikut melanjutkan memakan ice cream nya.

“Oh iya, soal temanmu Laras situ, aku berterimakasih padanya karena sudah membantuku”  sekali lagi Citra hanya mengangguk dan memasang senyum mencoba menghabiskan ice cream dari tara rasa perpisahan.

Dara prayoga



***
Aku tak pernah menyesal sedikitpun memiliki rasa ini untuknya, walau rasa ini hanya dapat ku pendam. Menurutku, mencintainya merupakan salah satu hal yang membahagiakan di dunia ini, yah, memang kadang hatiku teriris pisau kecemburuan kemudian fikiranku terasa digerogoti rasa penasaran, tapi itu namanya Cinta bukan?
Aku belajar banyak dari mencintai diam-diam. diam-diam itu lah mungkin kesalahanku.
Sampai saat ini aku masih mencintainya, dan sampai kapanpun mungkin masih, hanya rasa ingin memiliki itu yang kubuang jauh-jauh, aku ingin mencintai nya dengan tulus, dan memberitahu diriku untuk mencintainya sebagai sahabat.

Hanya sedikit berpesan, sebaiknya ungkapkanlah rasa yang kau punya untuknya, jangan sampai perasaan itu semakin dipendam, semakin tenggelam. Yah itu jika kamu tidak ingin menunggu selamanya.